HURLOCK (2002: 161) menjelaskan, salah satu karakteristik tugas perkembangan anak-anak adalah berkaitan dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Anak senang memuaskan keingintahuannya dengan hal-hal baru yang berbeda dengan menjelajahinya. Anak yang lebih besar ingin menjelajah lebih jauh dari lingkungannya rumah dan lingkungan tetangga serta menjelajah daerah baru. Misalnya, rumah tua yang tak terpakai, rumah baru yang sedang dibangun, akan membangkitkan minat anak. Anak kota ingin menjelajah desa, sementara anak desa ingin menjelajah lingkungan kota.
Karena kegiatan menjelajah pada masa akhir kanak-kanak lebih senang bila dilakukan bersama anak lain. Pada periode ini menjelajah menjadi aktivitas yang popular. Popularitas menjelajah sebagai kegiatan bermain menimbulkan banyak kegiatan rekreasi dari kelompok terorganisasi, seperti pramuka atau gereja. Selain menjelajah, kecenderungan rasa ingin tahu yang sangat tinggi dapat dipenuhi dengan melakukan beberapa aktivitas lain, salah satunya adalah dengan membaca karya sastra anak bergenre fantasi.
Dalam konteks tersebut, karya sastra anak yang baik adalah yang dapat mengajak anak-anak sebagai pembacanya ke perziarahan fantasi. Karya sastra anak fantasi, baik cerpen anak maupun novel, berkesempatan untuk mendorong anak-anak memasuki wilayah imajinatif yang ukurannya tak terukur akal pikir sederhana. Huck (1987: 337) mengatakan, cerita fiksi juga membantu anak untuk mengembangkan daya fantasi. Menurut Huck, inilah sumbangan yang paling penting walau juga tidak berarti menisbikan adanya berbagai kemanfaatan yang lain. Melalui fiksi fantasi, lewat imajinasi yang dikembangkannya, anak dapat mengembangkan potensi kedirianya. Orang yang tidak memiliki imajinasi, demikian Huck mengutip Paul Fenimore, ibarat orang hidup tetapi hanya separo hidup; orang hidup membutuhkan visi, dan imajinasi akan memberikan visi yang diperlukan.
Nurgiyantoro (2005: 295) menjelaskan, fiksi fantasi dapat dipahami sebagai cerita yang menawarkan sesuatu yang sulit diterima. Fiksi fantasi coba menghadirkan sebuah dunia lain di samping dunia realitas. Cerita fantasi dikembangkan melalui imajinasi yang lazim dan dapat diterima sehingga sebagai sebuah cerita dapat diterima oleh pembaca. Dalam cerita fantasi, ada bagian tertentu yang sebenarnya masuk akal, logis, meski dicampuradukkan dengan hal-hal yang kurang masuk akal. Hal itu menyebabkan fiksi fantasi juga menjadi kuat dan meyakinkan karena dapat dipertanggungjawabkan secara intrinsik.
Echols dan Shadily (1996: 233) dalam kamus Inggris-Indonesia menerjemahkan fantasy sebagai fantasi, khayalan, lamunan. Dalam novel fantasi, satu hal yang bisa dibilang sangat dominan adalah konteks latar ceritanya. Latar cerita dalam novel fantasi menjadi “pemain kunci” dalam merebut makna estetis, mengingat pembaca akan diajak memasuki dunia fantasi yang ditawarkan oleh penulisnya. Seberapa menarik dunia fantasi itu di mata pembaca, sangat ditentukan oleh keberhasilan penulis dalam menawarkan konsep estetis kelatarannya.
Salah satu novel anak yang mentahbiskan diri sebagai sastra anak bergenre fantasi adalah The Vilavina Land, Bertamasya ke Negeri Para Peri karya Latifa Nurina A. Novel ini memiliki keunikan. Pertama, dia merupakan karya sastra anak yang terbit asli dan perdana dalam edisi Indonesia. Artinya, sebagai sebuah karya sastra anak bergenre fantasi dia menjadi tawaran alternatif di tengah maraknya karya sastra anak bergenre fantasi yang merupakan produk impor, berupa terjemahan sastra anak, baik berbentuk novel, cerpen maupun komik. Apakah karya sastra anak asli Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda secara ekstrim dengan karya sastra anak terbitan luar negeri, seperti halnya Harry Potter, Lord of The Ring, dan sebagainya?
Kedua, novel ini merupakan karya sastra yang ditulis oleh anak pribumi, asli Indonesia. Hal ini merupakan fenomena menarik, di tengah banjir karya satra dari luar negeri, anak Indonesia tidak kalah produktif dalam mendorong aktivitas estetis dan menghasilkan karya-karya sastra. Lebih menarik lagi adalah penulisnya merupakan siswa SD kelas V SD Muhammadiyah Purwo 2 Yogyakarta, saat novel ini diterbitkan pertama kali. Hal ini dapat menjadi kajian menarik, bagaimana karakteristik fantasi yang dibangun oleh anak-anak yang secara tugas perkembangannya sedang dihinggapi rasa ingin tahu yang sangat besar? Bagaimana penulis anak menawarkan dunia fantasi kepada publik pembaca dalam versinya sebagai kanak-kanak, yang (seharusnya) membedakannya dengan penulis dewasa?
Berangkat dari konteks demikian, perlu dikaji lebih lanjut struktur latar cerita novel anak fantasi The Vilavina Land, Bertamasya ke Negeri Para Peri karya Latifa Nurina A. Kajian ini coba fokus pada aspek latar cerita dengan pertimbangan, seperti disampaikan di awal, aspek dominan yang membangun estetika novel ini sangat bergantung kepada latar cerita. Novel ini menawarkan fantasi sebagai kekuatan estetisnya; Mengajak pembaca berziarah ke negeri antah-barantah yang dibangun oleh penulisnya.
Sayuti (2000: 125-126) mengatakan, sebuah karya fiksi, baik cerpen maupun novel, harus terjadi pada suatu tempat dan dalam suatu waktu, seperti halnya kehidupan ini yang juga berlangsung dalam ruang dan waktu. Di dalam fiksi modern, seperti halnya novel ini, ruang dan waktu terjadinya peristiwa digarap pengarang menjadi elemen cerita yang penting. Elemen fiksi yang menunjukkan dimana dan kapan kejadian dalam cerita berlangsung disebut latar, setting, alias landas-tumpu, yakni lingkungan tempat peristiwa terjadi. Dengan demikian, yang termasuk dalam latar ialah tempat, ruang yang diamati, seperti desa, kampus, penjara, rumah, kapal, dan seterusnya; waktu, hari, tahun, musim, periode sejarah, dan sebagainya.
Nurgiyantoro (2002: 227) membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa yang yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Sementara latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan karya fiksi.
Sebagai fiksi fantasi, novel berjudul The Vilavina Land, Tamasya ke Negeri Para Peri juga memiliki struktur latar cerita yang unik dan memikat. Keunikan dan kekhasan latar yang dibangun sebagai struktur cerita berkarakter dengan dunia kanak-kanak. Novel ini bercerita tentang lima anak yang bertemu di sebuah asrama, yang menjadi tempat orang tua mengirimkan kelimanya untuk belajar. Seperti dikutip berikut ini:
Kebiasaan mereka berlima sama, yaitu bermain yang aneh-aneh dan berpetualang. Asrama yang mereka tempati bernama asrama Sansani Elementari School, karena asrama itu terletak di kota Sansan. Yaitu bisa terlihat dari kata Sansani, diambil dari kata Sansan (Nurina A, 2006: 10).
Latar tempat ini sangat dekat dengan dunia anak-anak. Pemilihan asrama sebagai latar tempat yang pertama dimunculkan dalam petualangan lima anak ini pastilah tanpa pertimbangan. Seperti diketahui, asrama memiliki “citra yang kurang menyenangkan” bagi beberapa anak. Asrama banyak dikesankan sebagai tempat kumuh, banyak aturan, kurang bebas, pengasuh yang keras, jadwal kunjungan yang ketat, tidak bisa jajan di luar asrama, dan sebagainya. Kesan seperti itu secara langsung juga terlihat kian kuat dengan citra Miss Fall yang digambarkan sebagai guru pengasuh yang galak dan jahat.
Di tengah situasi latar tempat yang seperti itu, terlihatlah lima sekawan itu merindukan suasana yang bebas dan baru. Penulis melalui lima sekawan yang “bandel” itu “mencita-citakan” adanya jalan keluar yang bisa membebaskan mereka dari situasi terkungkung, yang dalam novel ini diimajinasikan sebagai “terperosok ke dalam lobang”. Bisa dikatakan, terperosoknya lima sekawan melalui pintu di gedung tua bagian dari sekolah itu, ibarat “tersesat ke jalan yang benar.”
Semakin lama di sana, kelima anak tersebut semakin bosan. Yaa..mau bagaimana lagi. Siapa sih yang tidak sebal dengan tingkah laku miss Fall. Mereka berlima berusaha memikirkan apa yang akan mereka lakukan.
“Aha..! Bagaimana kalau kita menjelajahi tempat-tempat aneh atau rahasia di sekitar asrama ini!” Gagasan yang bagus baru saja terucap dari mulut Harry. Wah, itu ide yang bagus sekali Harry. Ya, bagus sekali,” ucap yang lain (Nurina A., 2006: 10).
Perjalanan mereka lanjutkan. Harry yang memimpin. “Aaaa..!” dia terperosok ke sebuah lubang. Yang lain pun berusaha menolong. Tetapi ketika teman-temannya meraih tangan Harry, mereka ikut terperosok. Mereka berteriak dengan keras. Mereka terjatuh ke sebuah tempat asing dan kembali bertemu Sony (Nurina A, 2006: 11).
Kutipan di atas menegaskan, bahwa asrama sekolah juga dapat menjelaskan latar sosial yang ingin digambarkan yaitu membosankan, guru yang menyebalkan, dan kurang memberi tempat kepada anak-anak yang “bandel” seperti lima sekawan itu. Kesan bahwa latar tempat bernama sekolah itu sangat membosankan bagi anak-anak itu juga tertunjukkan pada semacam situasi baru, pasca terperosoknya mereka ke dalam lubang. Keterperosokan mereka ke dalam lubang tidak lagi menjadi bencana, justeru menjadi euphoria baru akan datangnya tempat baru, latar baru. Tempat baru itu kemudian tidak semata bermakna bangunan dan tanah baru, namun juga kultur baru yang membebaskan, menawarkan kegembiraan, kesenangan, keindahan, dan seterusnya. Latar baru yang kemudian oleh penulisnya disebut sebagai Negeri Vilavina.
“Woww… indah sekali. Ya…, indaaahh sekali,” kata Cherry dan Harry (Nurina A, 2006: 11).
“Apa? Kupu-kupu bisa bicara? Mana mungkin,” ujar Cherry.
“Semua yang ada di negeri Vilavina ini bisa bicara,” jawab kupu-kupu.
“Oo…jadi negeri ini bernama Vilavina,” kata kelima anak itu terkagum-kagum (Nurina A, 2006: 14).
Sebagai sebuah fiksi fantasi, struktur latar seperti digambarkan pada kutipan di atas cukup memikat. Begitu memasuki negeri baru, lima sekawan sudah bertemu dengan sosok yang berbeda jenis dengan mereka yaitu kupu-kupu, berbeda dengan manusia. Tetapi, pilihan penulis dengan struktur latar cerita seperti itu boleh jadi tepat. Kenapa lima sekawan tidak bertemu serigala, yang seringkali muncul dalam cerita horor? Atau, harimau dan singa yang menjadi raja hutan dalam beberapa dongeng? Kupu-kupu mungkin bukan semata-mata bermakna binatang, namun juga menjadi simbol pemberi pesan tertentu dari penulis. Kupu-kupu mungkin menjadi simbol sosok yang cantik, enak dilihat, ramah, yang dipersonifikasikannya dengan gaya berbicara yang lembut dan santun. Boleh jadi, kupu-kupu dalam konteks latar cerita merupakan bagian dari latar sosial yang diidamkan oleh penulisnya melalui cerita. Latar sosial yang memiliki warga ramah, menghargai orang lain, dan akomodatif, yang membedakannya dengan asrama yang memiliki ibu pengasuh jahat, teman-teman yang tidak menghormati orang lain, dan seterusnya.
Melalui kutipan tersebut, latar sosial digambarkan bahwa “situasi sosial” di negeri bernama Vilavina cukup bebas, egaliter, hak berbendapat dan berbicara dihargai. Penulis membahasakannya melalui jawaban kupu-kupu, yang berkata “semua yang ada di negeri Vilavina bisa bicara,”. Ungkapan ini bisa dimaknai sebaliknya, bahwa latar sosial sebelumnya yang dihadapi lima sekawan adalah “tidak semuanya bisa bicara” atau bahkan “tidak boleh bicara”. Ada kesan, lima sekawan menghadapi situasi dan kondisi yang “membelenggu” kebebasan mereka untuk berbicara dalam maknanya yang luas, termasuk berbicara dalam konteks kesempatan untuk beraktualisasi diri. Berbicara tidak semata bermakna “membuang suara” namun juga cara seseorang untuk mengaktualisasikan diri, mengekspresikan gagasannya.
Imajinasi dan fantasi penulis tentang latar baru, situasi baru, juga ditunjukkan melalui kutipan berikut:
“Yang ada di belakang kalian adalah gua Sweety, disana dihuni oleh Putri Sweenyta, dia sangat baik. Putri Sweenyta sering sekali membagikan permen dan coklat yang sangat manis. Selain baik, dia juga cantik…”
“Di depan kita terdapat hutan Boogi-boogi. Di dalam hutan itu sangat berisik. Setiap malam, banyak anak-anak yang tidak bisa tidur, karena pohon-pohon disana berisik. Mereka selalu berkata, “Boogi…boogi…boogi!” sebenarnya tidak hanya malam hari mereka berisik, tetapi juga pagi, siang dan sore. Warna kuning yang tinggi itu adalah bukit Cheesa, dan penduduknya pun bernama penduduk Cheesa. Rumah mereka terbuat dari keju, dan pekerjaan mereka adalah membuat keju untuk cadangan makanan.”
“Tapi…kalian harus berhati-hati dengan Zumbyana si penyihir. Dia tinggal di dalam hutan Boogi-boogi. Lokasinya tepat di paling belakang. Namun masih ada gerbang rangkaian daun buatan Zumbyana yang telah dicampur ramuan mematikan. Dia benar-benar jahat… (Nurina , 2006: 14-15).
Kutipan di atas menggambarkan sebuah latar tempat sekaligus sosial. Pilihannya memberi nama tempat juga sangat imajinatif, dekat dengan anak, yaitu Sweety. Ada penghuninya yang baik hati, dan suka membagi coklat yang manis. Sang puteri selain baik hati juga cantik. Latar seperti ini selain berfungsi sebagai penguat daya fantasi, dimana hal-hal irrasional memiliki “rasionalitas”nya sendiri, juga menjadi simbol-simbol yang punya pesan. Misalnya, kenapa putrinya harus baik hati dan suka membagi coklat? Ini semacam dunia baru yang ditawarkan kepada anak-anak asrama yang mungkin selama hidupnya di asrama memang menemukan situasi dan kondisi menjengkelkan, termasuk dalam hal akses makanan kesukaan anak-anak, seperti coklat dan keju.
Penulis juga menggunakan situasi paradoks dalam latar tempat sekaligus sosial di atas. Selain menempatkan gua Sweety dan puteri Sweenyta, struktur latar juga dilengkapi hutan Boogi-boogi dan penyihir Zumbyana. Latar ini mungkin ingin membuktikan kepada pembaca, bahwa cerita ini merupakan “kehidupan nyata”, yang tidak semata-mata ada kebaikan atau keburukan saja, namun keduan-duanya ada saling mengisi. Hutan yang selalu berisik bisa jadi mengingatkan lima sekawan tentang asrama mereka yang penghuninya selalu berisik, mengganggu keinginan mereka untuk tidur. Kita membayangkan, barangkali ada dari lima sekawan itu, atau penulis cerita ini melalui latar ini, ingin mengungkapkan kejengkelannya karena tidak bisa tidur gara-gara bising dan berisik, padahal tidur merupakan saat mereka harus beristirahat. Ditambah lagi dengan kehadiran penyihir jahat di dalam latar sosial tersebut, yang kian menguatkan kesan bahwa ada sosok-sosok kunci yang secara psikologis sesungguhnya menimbulkan rasa traumatis bagi lima sekawan; sosok itu disimbolkan sebagai penyihir jahat. Tetapi bukankah penulisnya seperti mengajak lima sekawan agar tidak bersedih: selain ada penyihir jahat dan hutan boogi-boogi, lima sekawan bisa mendapatkan coklat dan keju dari orang-orang Cheesa?
Kesan bahwa novel ini merupakan fiksi fantasi yang menghibur semakin ditunjukkan oleh cerita, ketika sampai pada ditemukannya latar cerita berupa Danau Coklat. Kenapa harus danau coklat? Dus, kenapa penemuan Danau Coklat terjadi setelah melewati hutan Boogi-boogi yang seram itu? Apalagi, dilengkapi dengan latar sosial yang menggambarkan adanya masyarakat yang ramah, suka membagi keju, dan seterusnya. Di sini penulis membangun struktur latar yang menarik dan memikat. Cerita ini ingin menyatakan, “setelah kesulitan, pastilah ada kemudahan!” di tengah situasi yang menjengkelkan, pastilah ada sesuatu yang menyenangkan. Sebagai cerita menghibur, penempatan latar yang paradoks dan melengkapi menjadi pilihan yang jitu. Berikut kutipannya:
…Danau coklat itu adalah sebuah danau biasa yang airnya seperti coklat lumer, dan itu memang cokelat lumer. Jenis coklat itu adalah cokelat yang berwarna cokelat manis. “Aku akan berenang sepuas mungkin dan sejauh mungkin sambil memakan cokelat, karena aku adalah Sony Si Perenang,” kata Sony (Nurina A, 2006: 21).
…”Itu karena di bawah danau cokelat ini ada pabrik coklat. Di tepian danau memang sengaja dibuat tidak manis, agar tidak ada pencuri yang bisa mengambil coklat. Sehingga pencuri yang akan mencuri, ditarik ke pabrik coklat untuk dijadikan pegawai, penjaga atau tentara.” Jawab Rubby (Nurina A, 2006: 23).
Struktur latar cerita, baik dalam konteks tempat maupun sosial, benar-benar memiliki karakteristik sebagai dunia kanak-kanak. Penulisnya yang masih anak-anak, dan mungkin suka coklat, sungguh-sungguh membangun struktur latar cerita dalam perspektif anak-anak, dengan menggunakan latar danau cokelat yang terlihat manis, tidak ada yang mencuri, adanya kelinci, dan seterusnya. Imajinasi dan fantasi yang terkandung dalam cerita ini tidak menghilangkan kesan keluguan dan kepolosan dunia kanak-kanak; tentang idealitas mereka tentang makanan, pandangan terhadap orang lain, dan seterusnya.
Kesan itu juga dikuatkan dengan adanya latar rumah teh dan Tuan Teason yang stress. Diceritakan, di rumah teh itu lima sekawan dijebak dan diracun oleh Tuan Teason; Dia mencampurkan zat penidur ke dalam teh yang disuguhkan kepada anak-anak. Menurut penjelasan masyarakat setempat, Tua Teason stress gara-gara ditinggal pergi istrinya. Istrinya sebal karena setiap hari hanya disuguh teh di dalam rumah teh. Latar tempat sekaligus sosial ini seperti ingin menyuarakan “suara hati anak-anak” yang bosan dengan suguhan teh, yang mungkin terjadi di asramanya. Mereka tidak terima bila makanan yang dihidangkan setiap hari hanya teh dan teh. Ketidaksukaan terhadap teh itu diimajinasikan dengan “kecurigaan penuh”, yaitu dengan menggambarkan kemungkinan teh dicampur dengan racun penidur. Kesan ketidaksukaan anak-anak itu, yang mungkin muncul dari penulisnya, ditunjukkan dengan larinya istri Tuan Teason, dan alasan lari itu adalah karena sang istri sebal setiap hari disuguh teh. Latar cerita ini ingin menyatakan, bila setiap hari lima sekawan itu hanya disuguh teh di asramanya, mereka sebenarnya ingin kabur saja!
Latar berikutnya yang dimunculkan oleh penulis adalah kehidupan para peri; mereka sangat menyukai coklat dan hal-hal yang berorientasi kesenangan dan hiburan. Dalam imajinasi yang dibangun penulis melalui latar sosial ini, dunia peri harus indah dan enak, nyaman dan menyenangkan. Misalnya digambarkan masyarakat peri yang sangat sempurna; ada yang suka memberi coklat, ada yang suka menolong orang yang kehilangan suara emasnya, ada yang pintar membuat pita, menyulam, menari dan membuat kue. Selain itu, ada juga peri yang bisa mengubah cuaca buruk jadi bagus, peri senang menanam bunga, pintar menulis puisi. Dan lebih penting lagi adalah masyarakat peri ternyata suka pesta!
Berbagai latar, baik tempat maupun sosial, digambarkan penulisnya sebagai masyarakat yang hidupnya serba mudah, enak dan tidak terganggu kesulitan hidup. Misalnya, mereka membangun rumah tanpa dilakukan, dan kurang suka dengan atap rumah yang bocor. Imajinasi dan fantasi yang dibangun dengan menggunakan struktur latar ini menunjukkan keluguan bocah; menyuarakan suara anak-anak yang tinggal di rumah kumuh, atap bocor, dan seterusnya dengan menghibur bahwa suatu ketika mereka akan mendapatkan rumah bagus tanpa membangun.
…Olien menjawab, “Tentu saja aku mau. Aku akan membantu kalian membangun rumah, asalkan kalian mau membayarku.”
“Tapi kami tak mempunyai uang sama sekali.” Kata Harry. “Ha ha ha…kalian begitu lugu. Kalian piker aku serius ya, ha..ha..ha..tidak, aku hanya bercanda. Maaf ya. “seru Olien. Ia memang suka bercanda. “Huh, dasar Olien tukang bercanda. Tapi tak apalah. Manusia juga butuh hiburan. Kalau seumur hidup tidak ada hiburan…ah sudah lupakan saja. Ayo sekarang kita mulai membangun rumah. Tapi dimana tem..”tiba-tiba Olien memutus pembicaraan Cherry. “Kalian tak usah memikirkan tempat, dan membuang-buang tenaga untuk membangun rumah…
“Bukan begitu maksudku, “kata Olien. “Lantas apa?” tanya Cherry. “Ayo ikut semua. Oo ternyata Olien mengajak mereka ke gua Sweety. Olien meminta Puteri Sweenyta untuk menyihir sebuah permen berbentuk rumahnya menjadi rumah sungguhan untuk Cherry, Kanna, Luna, Harry dan Sony (Nurina A, 2006: 43-44).
Pada cerita berikutnya, penulis juga mengungkapkan sebuah latar tentang adanya sekolah yang kegiatannya hanya menggambar, membaca, menulis, menyanyai dan bersopan santun kepada orang lain. Latar ini seperti ingin menunjukkan bahwa cerita ini ditujukan kepada anak-anak yang kurang suka dengan kehidupan asrama yang ketat, sekolah yang membosankan, dan rumah yang tidak nyaman. Latar tentang sekolah tidak sekadar digambarkan bagaimana bangunan sekolah itu, catnya berwarna apa, berapa lantai, atapnya bagaimana, namun bagaimana kultur sekolah tersebut. Seperti dikutip berikut ini:
…Di sekolah itu ada beberapa jadwal. Setiap harinya ada pelajaran menggambar, membaca, menulis, menyanyi dan bersopan santun kepada orang lain. Sistem belajar di sekolah itu tidak membuat pikiran kita menjadi jenuh. Karena kita akan belajar sambil bermain. Di negeri Vilavia, sekolah itu tidak wajib, melainkan hanya untuk menambah ilmu sedikit dan untuk mendapat teman yang banyak. Di sekolah itu juga tidak banyak muridnya, hanya lima belas anak,” jelas Oiien (Nurina A, 2006: 85).
Latar ini menjelaskan fantasi yang dibangun oleh penulis tentang dunia sekolah kaitannya dengan anak-anak. Inilah idealitas yang ingin disuarakan anak-anak tentang sekolah, sekaligus kritik terhadap situasi kekinian dunia sekolah (dan pendidikan nasional) kita pada umumnya. Dengan segala kesadaran kanak-kanaknya, imajinasi anak-anak ingin menyuarakan bahwa tugas perkembangan mereka yang utama adalah bermain, tumbuh dan berkembang dalam suasana cinta-kasih, dan bersosialisasi. Namun, idealitas itu tak ditemukan dalam realitas. Sekolah yang mereka jumpai adalah sekolah yang penuh beban pelajaran dan tugas rumah, ujian akhir yang memberatkan, murid sekolah yang bertumpuk-tumpuk jumlahnya tidak seimbang dengan ketersedian guru sehingga perhatiannya berkurang. Di tengah realitas seperti itu, anak-anak menyayangkan adanya kewajiban untuk pergi bersekolah, sehingga bersuara, “di negeri ini sekolah itu tidak wajib!” kecuali hanya “untuk menambah ilmu sedikit dan mencari teman!”.
Dari analisis terhadap struktur latar di atas, sebagai fiksi fantasi, novel ini memunculkan karakteristik yang khas dunia anak, tentang keluguan dan “cita-cita” mereka dalam membangun idealitas dan idaman hidupnya saat ini: tentang dunia yang nyaman, cinta-kasih, ada cokelat, sekolah yang tidak menjemukan, beban pelajaran yang tidak berat, guru pengasuh yang ramah, masyarakat yang saling menolong, rumah (keluarga) yang nyaman, dan seterusnya. Meskipun latar yang dimunculkan banyak mengambil referensi dunia lain, yang ditunjukkan dengan berbagai tradisi makanan dan penamaan manusia, tempat, dan situasi tertentu, namun cerita ini justeru memiliki kekuatannya sendiri sebagai fiksi karya anak pribumi. Hal ini menunjukkan terjadi situasi pascakolonial, dimana anak-anak pribumi Indonesia –yang pernah mengalami berbagai masa penjajahan, membangun siasat-siasat tertentu, termasuk dalam siasat kebahasaan dan kesusastraan. Pilihan menulis sastra anak fantasi, dengan latar referensi tradisi kehidupan luar negeri menunjukkan referensi anak-anak pribumi kian variatif dan kaya.
Karya sastra seharusnya dapat menawarkan dua hal yaitu dulce et utile, keindahan sekaligus kemanfaatan (Wellek & Warren, 1990: 26-27). Karya seni, termasuk sastra, hendaknya “manis” dan sekaligus bermanfaat bagi setiap penikmatnya. Kesenangan dan hiburan yang diperoleh dari sastra bukanlah kesenangan dan hiburan dalam konteks fisik, melainkan kesenangan yang lebih tinggi yaitu kontemplasi yang tidak mencari keuntungan material. Sementara manfaatnya –keseriusan, bersifat didaktis- adalah keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi.
Menilik fungsinya yang demikian, kita berharap di masa mendatang penulisan dan penerbitan karya sastra anak semakin meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Dengan perkembangan penulisan dan penerbitan karya sastra anak yang kondusif diharapkan tradisi literasi di kalangan masyarakat, khususnya anak-anak, dapat bergerak menuju tren positif. Perkembangan positif pada penulisan dan perkembangan karya sastra anak akan menjadi sumbangsih berharga bagi pengembangan kebudayaan kita di masa mendatang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
artikel yang bagus.. bisa buat nambah-nambah referensi. Bisa minta tolong tulis daftar pustakanya? Maklum pengen sedikit meneliti juga tentang sastra anak.. Trims
BalasHapusterimakasih untuk artikel dan resensinya :)
BalasHapuswah, saya nggak nyangka ternyata ada yg mengangkat novel saya di situs internet, hehe.
Semoga bermanfaat. -Latifa Nurina-